Minggu, 13 Juni 2010

cerpen

TWO THAUSAND

“Akhi, two thousand”
Teriakan itu mengagetkanku, aku pun mengalihkan pandanganku ke sumber suara. Ternyata teriakan itu dari suara emas Aksa, menggelegar seakan memecahkan selaput gendang telingaku. Itulah ciri khas suara yang dimilikinya. Aku pernah menegurnya agar mengurangi volume suara emas itu, karena tidak semua orang suka suara emas kecuali suara emas artis pasti semua suka, tapi teguran itu ibarat angin berlalu saja ia tidak mengindahakan nasehatku.
“Two thousand itu apa sih?” Tanyaku bengong.
“Ha… hari gini belum tahu two thousand? Ketinggalan info banget kamu”.
Darahku mulai berdesir, tidak menyangka jawabannya seperti itu. Apalagi aku sudah dikagetkan tadi raut mukaku tambah panas.
“Kalau ku tahu artinya tidak mungkin aku bertanya” Bentakku
“cari sendiri jawannya, masak mahasiswa mau disuapi terus” Ledeknya lagi
Aku pikir ini bukanlah jawaban yang kuharapkan, maka diam adalah solusi dari marah. Aksi diam pun kulakukan, aku fokus dengan tugas matematikaku yang sejam lalu kukerjakan, tapi belum selesai walau satu nomor pun.
“Do you know, what’s the meaning two thausand?”
Aku terus diam, pura-pura serius mengerjakan tugas, padahal aku sangat penasaran akan maksud dari two thousand.
“Mau tahu tidak jawabannya?”
Tidak ada suara yang kulantungkan walau sebait kata, aku rasa diamku lebih baik dari pada mengomentari pertanyaannya, suatu saat pasti dia kapok dengan aksi diam yang kulakukan dan tidak mengulanginya lagi. Kata guruka, jika kamu mendapati orang cerewet atau orang yang ingin selalu berdebat, maka diamlah!.
“Ya sudah kalau tidak mau”
Katanya menutup perjumpaanku pagi ini, hatiku juga miris dengan aksiku, tapi itu adalah jalan terbaik menahan emosi, dengan diam segala amarah akan pudar. Tidak ada lagi suara yang ku dengar, mungkin dia sudah pergi.
Jam menunjukkan pukul 07.30, aku segera bersiap barangkat ke kampus dengan pakaian ala kadarnya dan rambut yang masih basah, kuraih pisang goreng yang tak jauh dari tempat dudukku dan langsung ku santap sebagai pengganti sarapan, buku di tangan serta peralatan tulis membuatku sulit memegang pisang goreng memaksaku makan sekaligus sambil berjalan cepat.
Pagi ini aku terburu-buru sekali, keenakan kerja tugas sampai lupa waktu.Kampus memang tak begitu jauh dari tempat tinggalku, hanya berjarak beberapa meter, tapi sesuai jadwal mata kuliah, pukul 07.45 perkuliahan sudah dimulai. Ini peraturan kampus yang tidak bisa dilanggar, terlambat satu menit absen atau harus berdiri di luar ruangan menunggu panggilan dosen mempersilahkan masuk ruangan tapi tetap absen, suatu kosekuensi yang tidak bisa ditawar butuh kesabaran dan disiplin mengikutinya, agar dapat menghargai waktu denagan baik.
“ two thousand"
Langkahku terhenti saat mendengar teriakan itu, rasa penasaranku bertambah kata itu benar-benar membuatku risi. Sambil berjalan kupasang kuping agar dapat menangkap sinyal dengan kuat, informasi two thousand harus aku dapatkan hari ini.
“ Akhi, two thousand”
Seseong yang kukenali bertanya atau mungkin menawarkan sesuatu kepada salah seorang temannya, maklum orang Makassar tak dapat dibedakan antara bertanya atau member informasi sama saja intonasinya. Aku terus memperhatikan kedua orang itu tiba-tiba orang yang ditanya mengeluarkan uang ribuan dari saku celananya, aku perkirakan jumlanya dua ribu.
Akhirya kutarik kesimpulan bahwa ada ketidakberesan pada masalah ini, two thousand adalah sebuah gank yang khusus menjadi tukang palak bijak tanpa memaksa mangsanya ketika meminta uang. Buktinya dia tidak melakukan intimidasi terhadap orang yang menolak permintaannya.
“ah….dasar pengemis modern, sudah mahasiswa masih saja hidup di bawa tangan orang lain, pada hal kan kita dianjurakan makan dengan hasil keringat sendiri atau minimal pesan Nabi Muhammad masih terbayang di telinga”tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah” Lirihku dalam hati.

Perkuliahan baru selesai sore, sejak barangkat pagi aku tak tidak pernah menginjak rumahku. Kupilih tinggal di kampus selain karena mata kuliah padat setiap hari, cuaca juga tidak mendukung untuk pulang. Hujan yang mengguyur kota Makassar, turun mulai dzuhur sampai sore, aku harus menunggu sampai reda baru bisa pulang ke rumah. Kalau malam larut dan hujan tidak juga berhenti kupilih hujan mengguyur tubuhku asal bisa sampai ke rumah atau kalau terlalu larut kupilih menginap di masjid kampus, aku takut pulang sendirian.
Lorong kampus begitu gelap tertutupi bayangan cuaca hitam di langit. Hujan memang baru reda, tapi sepertinya akan runtuh lagi. Kuayungkan kakiku dengan kecepatan setengah berlari, aku takut tertangkap hujan deras di jaln bisa-bisa aku kemalaman lagi seperti yang terjadi beberapa malam yang lalu. Bukan karena segan pada setan atau jin, aku hanya segan dengan preman lorong jalan menuju rumahku yang suka pesta alkohol setiap malam. Mereka nakal dan usil suka mengganggu setiap oarng yang lewat.
Suatu malam aku pernah dipeloncoi, aku dipaksa singgah menemani mereka minum dan main kartu, aku menolak ajakannya, akhirnya aku disiram segelas alkohol. Sesampai di rumah aku dikira peminum oleh teman-teman dengan bau tuak yang masuh tajam. Tak puas dengan perlakuan tadi kuaduakan kejadian itu pada tuan rumahku marahnya bukan kepalan dia langsung mendatangi preman tadi dan menghajarnya satu persatu. Setelah kuselidiki tarnyata tuan rumahku bos preman, tapi walaupun preman dia pembela kebenaran, dia pahlawanku.
“Haaaaaaaa…. Siapa itu? Teriakku kaget
Aku dikagetkan sebuah bayangan yang tiba-tiba terlintas di hadapanku. Bulu kudukku merinding, pikiran negatifku muncul teringat cerita temanku beberapa hari lalu. Dia bilang pernah melihat sesuatu yang aneh di kampus, aku tak percaya sebenarnya dengan cerita itu tapi kali ini ynag yang rasakan langsung.
“Hallo….anyone there?”
“Ada orang tidak?”
Aku tidak mendapati suara sedikitpun, kampus sore itu memang sangat sepi banyak yang sudah pulang duluan , teman sekelasku juga tak ada yang ku temukan seorang pun. Kuberanikan diri melanjutkan langkahku dan mencoba menghilangkan rasa takut yang menggorogoti sel-sel otakku. Sambil memejamkan mata aku terus berjalan melewati lorong toilet samping kananku.
“Brukkk….”
Kakiku terhenti, aku menabrak benda aneh yang tak pernah kuprediksi sebelumnya, aku tidak mau membuka mataku karena takut melihat benda itu. Tubuhku berkeringat dingin nafasku tertahan di kerongkongan, jantungku berdenyut kencang disertai desiran darah mengalir deras. Mataku kabur hanya melihat bayangan putih di hadapanku.
“Two thousand” Katanya



BERSAMBUNG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar