Rabu, 16 Juni 2010
Minggu, 13 Juni 2010
cerpen
TWO THAUSAND
“Akhi, two thousand”
Teriakan itu mengagetkanku, aku pun mengalihkan pandanganku ke sumber suara. Ternyata teriakan itu dari suara emas Aksa, menggelegar seakan memecahkan selaput gendang telingaku. Itulah ciri khas suara yang dimilikinya. Aku pernah menegurnya agar mengurangi volume suara emas itu, karena tidak semua orang suka suara emas kecuali suara emas artis pasti semua suka, tapi teguran itu ibarat angin berlalu saja ia tidak mengindahakan nasehatku.
“Two thousand itu apa sih?” Tanyaku bengong.
“Ha… hari gini belum tahu two thousand? Ketinggalan info banget kamu”.
Darahku mulai berdesir, tidak menyangka jawabannya seperti itu. Apalagi aku sudah dikagetkan tadi raut mukaku tambah panas.
“Kalau ku tahu artinya tidak mungkin aku bertanya” Bentakku
“cari sendiri jawannya, masak mahasiswa mau disuapi terus” Ledeknya lagi
Aku pikir ini bukanlah jawaban yang kuharapkan, maka diam adalah solusi dari marah. Aksi diam pun kulakukan, aku fokus dengan tugas matematikaku yang sejam lalu kukerjakan, tapi belum selesai walau satu nomor pun.
“Do you know, what’s the meaning two thausand?”
Aku terus diam, pura-pura serius mengerjakan tugas, padahal aku sangat penasaran akan maksud dari two thousand.
“Mau tahu tidak jawabannya?”
Tidak ada suara yang kulantungkan walau sebait kata, aku rasa diamku lebih baik dari pada mengomentari pertanyaannya, suatu saat pasti dia kapok dengan aksi diam yang kulakukan dan tidak mengulanginya lagi. Kata guruka, jika kamu mendapati orang cerewet atau orang yang ingin selalu berdebat, maka diamlah!.
“Ya sudah kalau tidak mau”
Katanya menutup perjumpaanku pagi ini, hatiku juga miris dengan aksiku, tapi itu adalah jalan terbaik menahan emosi, dengan diam segala amarah akan pudar. Tidak ada lagi suara yang ku dengar, mungkin dia sudah pergi.
Jam menunjukkan pukul 07.30, aku segera bersiap barangkat ke kampus dengan pakaian ala kadarnya dan rambut yang masih basah, kuraih pisang goreng yang tak jauh dari tempat dudukku dan langsung ku santap sebagai pengganti sarapan, buku di tangan serta peralatan tulis membuatku sulit memegang pisang goreng memaksaku makan sekaligus sambil berjalan cepat.
Pagi ini aku terburu-buru sekali, keenakan kerja tugas sampai lupa waktu.Kampus memang tak begitu jauh dari tempat tinggalku, hanya berjarak beberapa meter, tapi sesuai jadwal mata kuliah, pukul 07.45 perkuliahan sudah dimulai. Ini peraturan kampus yang tidak bisa dilanggar, terlambat satu menit absen atau harus berdiri di luar ruangan menunggu panggilan dosen mempersilahkan masuk ruangan tapi tetap absen, suatu kosekuensi yang tidak bisa ditawar butuh kesabaran dan disiplin mengikutinya, agar dapat menghargai waktu denagan baik.
“ two thousand"
Langkahku terhenti saat mendengar teriakan itu, rasa penasaranku bertambah kata itu benar-benar membuatku risi. Sambil berjalan kupasang kuping agar dapat menangkap sinyal dengan kuat, informasi two thousand harus aku dapatkan hari ini.
“ Akhi, two thousand”
Seseong yang kukenali bertanya atau mungkin menawarkan sesuatu kepada salah seorang temannya, maklum orang Makassar tak dapat dibedakan antara bertanya atau member informasi sama saja intonasinya. Aku terus memperhatikan kedua orang itu tiba-tiba orang yang ditanya mengeluarkan uang ribuan dari saku celananya, aku perkirakan jumlanya dua ribu.
Akhirya kutarik kesimpulan bahwa ada ketidakberesan pada masalah ini, two thousand adalah sebuah gank yang khusus menjadi tukang palak bijak tanpa memaksa mangsanya ketika meminta uang. Buktinya dia tidak melakukan intimidasi terhadap orang yang menolak permintaannya.
“ah….dasar pengemis modern, sudah mahasiswa masih saja hidup di bawa tangan orang lain, pada hal kan kita dianjurakan makan dengan hasil keringat sendiri atau minimal pesan Nabi Muhammad masih terbayang di telinga”tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah” Lirihku dalam hati.
Perkuliahan baru selesai sore, sejak barangkat pagi aku tak tidak pernah menginjak rumahku. Kupilih tinggal di kampus selain karena mata kuliah padat setiap hari, cuaca juga tidak mendukung untuk pulang. Hujan yang mengguyur kota Makassar, turun mulai dzuhur sampai sore, aku harus menunggu sampai reda baru bisa pulang ke rumah. Kalau malam larut dan hujan tidak juga berhenti kupilih hujan mengguyur tubuhku asal bisa sampai ke rumah atau kalau terlalu larut kupilih menginap di masjid kampus, aku takut pulang sendirian.
Lorong kampus begitu gelap tertutupi bayangan cuaca hitam di langit. Hujan memang baru reda, tapi sepertinya akan runtuh lagi. Kuayungkan kakiku dengan kecepatan setengah berlari, aku takut tertangkap hujan deras di jaln bisa-bisa aku kemalaman lagi seperti yang terjadi beberapa malam yang lalu. Bukan karena segan pada setan atau jin, aku hanya segan dengan preman lorong jalan menuju rumahku yang suka pesta alkohol setiap malam. Mereka nakal dan usil suka mengganggu setiap oarng yang lewat.
Suatu malam aku pernah dipeloncoi, aku dipaksa singgah menemani mereka minum dan main kartu, aku menolak ajakannya, akhirnya aku disiram segelas alkohol. Sesampai di rumah aku dikira peminum oleh teman-teman dengan bau tuak yang masuh tajam. Tak puas dengan perlakuan tadi kuaduakan kejadian itu pada tuan rumahku marahnya bukan kepalan dia langsung mendatangi preman tadi dan menghajarnya satu persatu. Setelah kuselidiki tarnyata tuan rumahku bos preman, tapi walaupun preman dia pembela kebenaran, dia pahlawanku.
“Haaaaaaaa…. Siapa itu? Teriakku kaget
Aku dikagetkan sebuah bayangan yang tiba-tiba terlintas di hadapanku. Bulu kudukku merinding, pikiran negatifku muncul teringat cerita temanku beberapa hari lalu. Dia bilang pernah melihat sesuatu yang aneh di kampus, aku tak percaya sebenarnya dengan cerita itu tapi kali ini ynag yang rasakan langsung.
“Hallo….anyone there?”
“Ada orang tidak?”
Aku tidak mendapati suara sedikitpun, kampus sore itu memang sangat sepi banyak yang sudah pulang duluan , teman sekelasku juga tak ada yang ku temukan seorang pun. Kuberanikan diri melanjutkan langkahku dan mencoba menghilangkan rasa takut yang menggorogoti sel-sel otakku. Sambil memejamkan mata aku terus berjalan melewati lorong toilet samping kananku.
“Brukkk….”
Kakiku terhenti, aku menabrak benda aneh yang tak pernah kuprediksi sebelumnya, aku tidak mau membuka mataku karena takut melihat benda itu. Tubuhku berkeringat dingin nafasku tertahan di kerongkongan, jantungku berdenyut kencang disertai desiran darah mengalir deras. Mataku kabur hanya melihat bayangan putih di hadapanku.
“Two thousand” Katanya
BERSAMBUNG
“Akhi, two thousand”
Teriakan itu mengagetkanku, aku pun mengalihkan pandanganku ke sumber suara. Ternyata teriakan itu dari suara emas Aksa, menggelegar seakan memecahkan selaput gendang telingaku. Itulah ciri khas suara yang dimilikinya. Aku pernah menegurnya agar mengurangi volume suara emas itu, karena tidak semua orang suka suara emas kecuali suara emas artis pasti semua suka, tapi teguran itu ibarat angin berlalu saja ia tidak mengindahakan nasehatku.
“Two thousand itu apa sih?” Tanyaku bengong.
“Ha… hari gini belum tahu two thousand? Ketinggalan info banget kamu”.
Darahku mulai berdesir, tidak menyangka jawabannya seperti itu. Apalagi aku sudah dikagetkan tadi raut mukaku tambah panas.
“Kalau ku tahu artinya tidak mungkin aku bertanya” Bentakku
“cari sendiri jawannya, masak mahasiswa mau disuapi terus” Ledeknya lagi
Aku pikir ini bukanlah jawaban yang kuharapkan, maka diam adalah solusi dari marah. Aksi diam pun kulakukan, aku fokus dengan tugas matematikaku yang sejam lalu kukerjakan, tapi belum selesai walau satu nomor pun.
“Do you know, what’s the meaning two thausand?”
Aku terus diam, pura-pura serius mengerjakan tugas, padahal aku sangat penasaran akan maksud dari two thousand.
“Mau tahu tidak jawabannya?”
Tidak ada suara yang kulantungkan walau sebait kata, aku rasa diamku lebih baik dari pada mengomentari pertanyaannya, suatu saat pasti dia kapok dengan aksi diam yang kulakukan dan tidak mengulanginya lagi. Kata guruka, jika kamu mendapati orang cerewet atau orang yang ingin selalu berdebat, maka diamlah!.
“Ya sudah kalau tidak mau”
Katanya menutup perjumpaanku pagi ini, hatiku juga miris dengan aksiku, tapi itu adalah jalan terbaik menahan emosi, dengan diam segala amarah akan pudar. Tidak ada lagi suara yang ku dengar, mungkin dia sudah pergi.
Jam menunjukkan pukul 07.30, aku segera bersiap barangkat ke kampus dengan pakaian ala kadarnya dan rambut yang masih basah, kuraih pisang goreng yang tak jauh dari tempat dudukku dan langsung ku santap sebagai pengganti sarapan, buku di tangan serta peralatan tulis membuatku sulit memegang pisang goreng memaksaku makan sekaligus sambil berjalan cepat.
Pagi ini aku terburu-buru sekali, keenakan kerja tugas sampai lupa waktu.Kampus memang tak begitu jauh dari tempat tinggalku, hanya berjarak beberapa meter, tapi sesuai jadwal mata kuliah, pukul 07.45 perkuliahan sudah dimulai. Ini peraturan kampus yang tidak bisa dilanggar, terlambat satu menit absen atau harus berdiri di luar ruangan menunggu panggilan dosen mempersilahkan masuk ruangan tapi tetap absen, suatu kosekuensi yang tidak bisa ditawar butuh kesabaran dan disiplin mengikutinya, agar dapat menghargai waktu denagan baik.
“ two thousand"
Langkahku terhenti saat mendengar teriakan itu, rasa penasaranku bertambah kata itu benar-benar membuatku risi. Sambil berjalan kupasang kuping agar dapat menangkap sinyal dengan kuat, informasi two thousand harus aku dapatkan hari ini.
“ Akhi, two thousand”
Seseong yang kukenali bertanya atau mungkin menawarkan sesuatu kepada salah seorang temannya, maklum orang Makassar tak dapat dibedakan antara bertanya atau member informasi sama saja intonasinya. Aku terus memperhatikan kedua orang itu tiba-tiba orang yang ditanya mengeluarkan uang ribuan dari saku celananya, aku perkirakan jumlanya dua ribu.
Akhirya kutarik kesimpulan bahwa ada ketidakberesan pada masalah ini, two thousand adalah sebuah gank yang khusus menjadi tukang palak bijak tanpa memaksa mangsanya ketika meminta uang. Buktinya dia tidak melakukan intimidasi terhadap orang yang menolak permintaannya.
“ah….dasar pengemis modern, sudah mahasiswa masih saja hidup di bawa tangan orang lain, pada hal kan kita dianjurakan makan dengan hasil keringat sendiri atau minimal pesan Nabi Muhammad masih terbayang di telinga”tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah” Lirihku dalam hati.
Perkuliahan baru selesai sore, sejak barangkat pagi aku tak tidak pernah menginjak rumahku. Kupilih tinggal di kampus selain karena mata kuliah padat setiap hari, cuaca juga tidak mendukung untuk pulang. Hujan yang mengguyur kota Makassar, turun mulai dzuhur sampai sore, aku harus menunggu sampai reda baru bisa pulang ke rumah. Kalau malam larut dan hujan tidak juga berhenti kupilih hujan mengguyur tubuhku asal bisa sampai ke rumah atau kalau terlalu larut kupilih menginap di masjid kampus, aku takut pulang sendirian.
Lorong kampus begitu gelap tertutupi bayangan cuaca hitam di langit. Hujan memang baru reda, tapi sepertinya akan runtuh lagi. Kuayungkan kakiku dengan kecepatan setengah berlari, aku takut tertangkap hujan deras di jaln bisa-bisa aku kemalaman lagi seperti yang terjadi beberapa malam yang lalu. Bukan karena segan pada setan atau jin, aku hanya segan dengan preman lorong jalan menuju rumahku yang suka pesta alkohol setiap malam. Mereka nakal dan usil suka mengganggu setiap oarng yang lewat.
Suatu malam aku pernah dipeloncoi, aku dipaksa singgah menemani mereka minum dan main kartu, aku menolak ajakannya, akhirnya aku disiram segelas alkohol. Sesampai di rumah aku dikira peminum oleh teman-teman dengan bau tuak yang masuh tajam. Tak puas dengan perlakuan tadi kuaduakan kejadian itu pada tuan rumahku marahnya bukan kepalan dia langsung mendatangi preman tadi dan menghajarnya satu persatu. Setelah kuselidiki tarnyata tuan rumahku bos preman, tapi walaupun preman dia pembela kebenaran, dia pahlawanku.
“Haaaaaaaa…. Siapa itu? Teriakku kaget
Aku dikagetkan sebuah bayangan yang tiba-tiba terlintas di hadapanku. Bulu kudukku merinding, pikiran negatifku muncul teringat cerita temanku beberapa hari lalu. Dia bilang pernah melihat sesuatu yang aneh di kampus, aku tak percaya sebenarnya dengan cerita itu tapi kali ini ynag yang rasakan langsung.
“Hallo….anyone there?”
“Ada orang tidak?”
Aku tidak mendapati suara sedikitpun, kampus sore itu memang sangat sepi banyak yang sudah pulang duluan , teman sekelasku juga tak ada yang ku temukan seorang pun. Kuberanikan diri melanjutkan langkahku dan mencoba menghilangkan rasa takut yang menggorogoti sel-sel otakku. Sambil memejamkan mata aku terus berjalan melewati lorong toilet samping kananku.
“Brukkk….”
Kakiku terhenti, aku menabrak benda aneh yang tak pernah kuprediksi sebelumnya, aku tidak mau membuka mataku karena takut melihat benda itu. Tubuhku berkeringat dingin nafasku tertahan di kerongkongan, jantungku berdenyut kencang disertai desiran darah mengalir deras. Mataku kabur hanya melihat bayangan putih di hadapanku.
“Two thousand” Katanya
BERSAMBUNG
HATI TAK BERKASIH
Aku hampir saja terjatuh dari tangga beranak pinak lantai dua asramaku saat kakiku mencoba menggagahinya. Mataku memang masih rabun-rabun dari kantuk yang mendera. Semalam aku terlambat tidur mengerjakan tugas akuntansi pagi nanti, aku memang tergolong lambat loading dalam menangkap pelajaran, tapi urusan kerja tugas tak boleh ketinggalan. Aku harus berusaha menyelesaikan tugas seberat apapun, hasil bukanlah prioritas utama dalam penilaian, tapi proseslah yang harus diberi penghargaan. Prinsip inilah yang memotivasiku untuk tidak putus asa dalam segala hal, sebab Allah hanya menilai proses bukan hasil.
Dengan mata terkantuk aku memaksakan diri bangun, tekadku bangun tahajjud tidak membuatku surut sedikit pun.
“Aku harus bangun sepertiga malam” Niatku sebelum terlelap semalam
Kucoba memperbaiki perasaan setengah sadarku, lalu ku raih gagang tangga berjalan menuruninya sambil duduk, aku kayak suster ngesot saja. Aku tak bisa berdiri, tubuhku oleng, keseimbangan tubuhku tak mampu ku kendalikan.
Setelah sampai di anak tangga terakhir, ku coba meraih tembok sambil memejamkan mataku yang berkunang-kunang. Aku mulai melangkah sambil melantunkan doa.
“Ya.. Allah, perkenankan aku untuk bisa sujud malam ini di hadapan-Mu, beri aku kekuatan fisik dan ruh untuk tetap pada niat tahhajjudku”
“Amin!”
Aku tersentak kaget ketika mendengar suara aneh, doaku diaminkan oleh seseorang, entah dari mana sumber suara itu. Rasa kantukku hilang seketika entah karena faktor takut atau doaku yang terkabul, ketahanan tubuhku juga mulai stabil. Tanpa ragu sedikitpun aku bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, lalu aku berdiri tahajjud.
***********************
“Allahu Akbar, Allahu Akbar”
Lantunan adzan membangunkanku dari mimpi indah, suara azan subuh menggema menggetarkan jagad mengetuk pintu-pintu rumah masyarakat yang tinggal di sekitar masjid itu. Hanya telinga tuli dari kebenaran yang tak mendengar suara itu, mulut-mulut bisu dari berkata baik tak menyahut juga, demikian mata-mata buta dari cahaya ilahi tak menghadiri seruan indah itu.
Aku biasa berpikir dalam kesendirian, kurang apa lagi manusia sehingga tidak mau menyembah Allah? fisik yang kuat, harta melimpah, kehidupan yang damai. Segalanya telah Allah berikan kepadanya, tapi kenapa masih saja ada segolongan manusia yang tak punya rasa syukur akan nikmat-nikmat itu?
Setelah mengenakan pakaian sholat, ku bangunkan teman-teman seasramaku tuk sholat, terkadang aku mendapat respon baik dari mereka kadang pula respon buruk. Di asrama ini aku mendapati tipe manusia yang beragam, ini adalah pelajaran berharga sebelum terjung ke masyarakat, pemarah, penakut, pemberani, sombong, pemurah, kikir, egois, dan segala karakter telah ku pelajari semua.
Rakaat terakhir yang diakhiri salam, aku sibuk berzikir dan berdoa setelah sholat, karena doa adalah senjata, begitu menurut buku yang ku baca, di dalamnya terkandung hikmah,. Doa adalah ketundukan, penyerhan diri padaNya, sehingga orang yang tidak berdoa dikatakan sombong karena merasa bisa pada segala hal, ia tidak butuh penolong dan pembimbing, jauhilah sifat ini.
“Hei….. coba lihat, ada anak sedang tidur di teras masjid” teriak seorang jamaah masjid
Penghuni masjid berhamburan dari zikir, ada juga yang cuek dan sibuk berdoa. Aku melangkah keluar setelah ku dengar kata-kata kurang sedap diucapakan salah satu jamaah.
“Di manako tinggal?” Tanya pak syamsul, salah satu jamaah masjid Al-Muhajirin dengan logat makassarnya
“Di sana pak” Jawab sang anak dengan mata yang masih ngantuk sambil menunjuk ke arah barat
“Masih ada kah bapakmu?” Tanya yang lain
“Iye, Tinggal bapakku, mamaku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu” cerita sang anak dengan kepala tertunduk diiringi air mata
“Na usirko bapakmu, kenapa tidur di teras masjid ini?”
Sang anak tidak menyahut lagi, kutatapi dalam-dalam tubuhnya, rasa iba mulai muncul dalam hatiku mendengar penuturannya tadi. Kasihan anak seumur dia harus terlantar hidupnya. Di mana perasaan sang bapak, tidak ada perhatian pada anaknya bahkan tega menelantarkannya.
“Usirmi saja, lihatmi itu pakaiannya yang kumal, rambut pirang, telinga beranting. Itu menandakan dia itu preman” Kata pak Arif lantang
Sang anak hanya mengedipkan mata kantuknya, sebenarnya aku merasa kasihan dengan keadaanya yang terlantar seperti itu, tapi penampilannya yang membuatku kehilangan belas kasih.
“Kenapa na begitu gayamu kah?” Tanya pak Tamrin logat ala Makassar
“Usirmi deh pak, anak nakal ini!” Sahut jamaah yang lain
“Iyo, pulangmako ku siramko air itu!” tegas pak Arif
“Eh, tunggu dulu, bapak ini tak punya hati. Seharusnya kita mengasihinya bukan memperlakukannya seperti itu” Suaraku lantang membela
“Abdi, untuk apa kamu bela-belain anak itu, tidakkah kamu lihat penampilan ala premannya itu?” Tegas pak Arif padaku
“Aku tahu itu pak, tapi apakah anda bisa mengukur hatinya, bisa saja penampilannya begitu, tapi hatinya baik” kataku polos
Walaupun aku membela sekuat tenaga, tapi anak itu diusir juga, tak satupun jamaah masjid yang memberikan kesempatan pada anak tersebut untuk tinggal di masjid itu. Mereka tidak punya rasa belas kasih pada anak itu.
“Coba bagusji penampilannya, kita baik ji juga sama dia, tapi gayanya kayak preman. Jangan sampai kurang ajar ji kalau dispanggil ke rumah” Kata pak Tamrin setelah anak itu berlalu pergi
****************************
Subuh di hari ke dua pengusiran anak itu, aku mencarinya ke arah yang ditunjuknya waktu ditanya. Informasi tempat tinggal dan identitasnya juga ku dapatkan dari teman-temannya. Aku sungguh iba padanya, pikiranku selalu tertuju pada dia.
Menurut temannya, Adi, anak itu sangat meprihatinkan hidupnya, berawal dari kematian sang karena siksaan dari ayahnya, ia tidak pernah lagi ,mersakan kasih sayang orang tua. Beberapa bulan setelah kematian ibunya, ayahnya menikah lagi dengan wanita cinta pertamanya, maka bertambahlah penderitaan Rafli, nama anak itu. Ia menafkahi hidupnya sendiri dengan mengais sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) Antang. Pendidikan hanya dirasakan pada kelas 2 SD, setelah itu putus total.
“ Allah, di mana hati ayahnya” Hatiku miris
Aku sangat bertekad menemukan anak itu setelah mendengar penjelasan Adi, mudah-mudahan aku bisa membantunya mengurangi penderitaannya.
Lorong-lorong sepi kompleks pemulung sampah itu terus ku telusuri, suara raungan anjing tak menyurutkan niatku mencari anak tersebut. Pagi memang masih gelap cuaca pagi itu masih segar belum terkontaminasi polusi kendaraan. Sebuah rumah yang terpisah dari rumah yang lain memaksaku berhenti. Ada suara aneh tiba-tiba saja muncul dari rumah itu.
“Hu……hu…..ha……hua………ha…’ Suara tangisan anak meraung
“Aku sudah bilang, jangan pernah menginjak rumah ini lagi” Seorang laki-laki setengah baya mengamuk
Aku terus perhatikan dari jauh kejadian itu.
****************************
“Ayah, ku mohon jangan usir aku”
Rifqi berteriak memohon pada sang bapak untuk tidak diusir dari rumahnya. Teriakan disertai tangis panjang itu membuatku gundah, rupanya masih ada orang tua yang tega mengusir anaknya di zaman ini. Ingin rasanya ku hajar laki-laki tak belas kasih itu. Darah daging sendiri sendiri diperlakukan seperti binatang, di mana hatinya tersimpan?.
“Hei...pergilah sebelum kami berubah pikiran!” Seorang perempuan menimpali
Perempuan separuh baya itu sepertinya ibu tiri Rifqi, sumber petaka rumah tangga orang lain. Menurut cerita teman-teman Rifqi, sebenarnya rumah tangga keluarga Rifqi sangat bahagia dan harmonis awalnya. Suatu hari, Ayah Rifqi Jatuh hati pada sinta, istri keduanya. Cinta terselubung akhirnya terbongkar dan berimbas pada kematian ibu kandung Rifqi setelah mendapati suaminya selingkuh. Nahas nasib Rifqi, ibu dibunuh sekarang anak diusir pula.
“Ayah, aku lagi sakit” Pelas Rifqi dengan suara lemas
“Ah... pergi sana, aku tak mau lihat mukamu lagi”
“Pak, usir dong!” Kata istrinya
Kesimpulanku benar, wanita itulah yang membuat hancur keluarga Rifqi. Membakar kemarahan suaminya untuk mengusir anak sendiri, kecintaan mendalam pada wanita bisa menjerumuskan seseorang ke jurang keserakahan. Rela berkorban demi memenuhi hasratnya.
“Ayo bcepat pergi”
Tanpa belas kasihan, sang ayah membanting anaknya ke tanah lalu menendanya, ku lihat Rifqi memeluk keras kaki sang ayah seakan memohon belas kasih, tapi harapan sang Rifqi hilang dengan perlakuan ayah yang tak berperikemanusiaan.
Aku terus memperhatikan kejadian pagi buta itu, tak ada lagi suara tangis dan pukulan mungkin Rifqi sudah lari pergi, hanya ayahnya yang sempat ku lihat menutup pintu rumahnya. Aku melangkah pulang dengan perasaan sedih bercampur jengkel.
“Setegah itukah seorang bapak?” Tanyaku dalam hati
Badanku menggigil, gigiku gemeretak, kakiku seakan tak mampu aku angkat dan hampir saja aku terjatuh.
“Tolong....tolong...”
Suara rintihan menghentikan langkahku, ku arahkan badanku ke sumber suara. Dengan mata penuh intai mencari sosok tubuh suara rintihan.
“Masya Allah!” Aku kaget setengah teriak
Ku hampiri Rifqi yang tergetak jauh dari tempat pemukulan ayahnya tadi, rupanya sang ayah melemparnya hinggah sampai sepuluh meter. Darah segar mengalir dari mulut dan hidungnya, lalu ku buka jaket dan membersihkan darah yang bercucuran itu. Tanpa terasa air mataku sudah mengalir deras membasahi badan Rifqi di pangkuanku.
“Rifqi, kamu baik-baik saja kan”
Senyum sepi mengumbar di bibir berdarahnya, seakan menandakan senyum terakhir yang ia berikan kepadaku. Hatiku miris melihat pemandangan itu, kata perpisahan dari Rifqi menambah keperihanku.
“Sampai jumpa di surga!”
Aku hampir saja terjatuh dari tangga beranak pinak lantai dua asramaku saat kakiku mencoba menggagahinya. Mataku memang masih rabun-rabun dari kantuk yang mendera. Semalam aku terlambat tidur mengerjakan tugas akuntansi pagi nanti, aku memang tergolong lambat loading dalam menangkap pelajaran, tapi urusan kerja tugas tak boleh ketinggalan. Aku harus berusaha menyelesaikan tugas seberat apapun, hasil bukanlah prioritas utama dalam penilaian, tapi proseslah yang harus diberi penghargaan. Prinsip inilah yang memotivasiku untuk tidak putus asa dalam segala hal, sebab Allah hanya menilai proses bukan hasil.
Dengan mata terkantuk aku memaksakan diri bangun, tekadku bangun tahajjud tidak membuatku surut sedikit pun.
“Aku harus bangun sepertiga malam” Niatku sebelum terlelap semalam
Kucoba memperbaiki perasaan setengah sadarku, lalu ku raih gagang tangga berjalan menuruninya sambil duduk, aku kayak suster ngesot saja. Aku tak bisa berdiri, tubuhku oleng, keseimbangan tubuhku tak mampu ku kendalikan.
Setelah sampai di anak tangga terakhir, ku coba meraih tembok sambil memejamkan mataku yang berkunang-kunang. Aku mulai melangkah sambil melantunkan doa.
“Ya.. Allah, perkenankan aku untuk bisa sujud malam ini di hadapan-Mu, beri aku kekuatan fisik dan ruh untuk tetap pada niat tahhajjudku”
“Amin!”
Aku tersentak kaget ketika mendengar suara aneh, doaku diaminkan oleh seseorang, entah dari mana sumber suara itu. Rasa kantukku hilang seketika entah karena faktor takut atau doaku yang terkabul, ketahanan tubuhku juga mulai stabil. Tanpa ragu sedikitpun aku bergegas menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, lalu aku berdiri tahajjud.
***********************
“Allahu Akbar, Allahu Akbar”
Lantunan adzan membangunkanku dari mimpi indah, suara azan subuh menggema menggetarkan jagad mengetuk pintu-pintu rumah masyarakat yang tinggal di sekitar masjid itu. Hanya telinga tuli dari kebenaran yang tak mendengar suara itu, mulut-mulut bisu dari berkata baik tak menyahut juga, demikian mata-mata buta dari cahaya ilahi tak menghadiri seruan indah itu.
Aku biasa berpikir dalam kesendirian, kurang apa lagi manusia sehingga tidak mau menyembah Allah? fisik yang kuat, harta melimpah, kehidupan yang damai. Segalanya telah Allah berikan kepadanya, tapi kenapa masih saja ada segolongan manusia yang tak punya rasa syukur akan nikmat-nikmat itu?
Setelah mengenakan pakaian sholat, ku bangunkan teman-teman seasramaku tuk sholat, terkadang aku mendapat respon baik dari mereka kadang pula respon buruk. Di asrama ini aku mendapati tipe manusia yang beragam, ini adalah pelajaran berharga sebelum terjung ke masyarakat, pemarah, penakut, pemberani, sombong, pemurah, kikir, egois, dan segala karakter telah ku pelajari semua.
Rakaat terakhir yang diakhiri salam, aku sibuk berzikir dan berdoa setelah sholat, karena doa adalah senjata, begitu menurut buku yang ku baca, di dalamnya terkandung hikmah,. Doa adalah ketundukan, penyerhan diri padaNya, sehingga orang yang tidak berdoa dikatakan sombong karena merasa bisa pada segala hal, ia tidak butuh penolong dan pembimbing, jauhilah sifat ini.
“Hei….. coba lihat, ada anak sedang tidur di teras masjid” teriak seorang jamaah masjid
Penghuni masjid berhamburan dari zikir, ada juga yang cuek dan sibuk berdoa. Aku melangkah keluar setelah ku dengar kata-kata kurang sedap diucapakan salah satu jamaah.
“Di manako tinggal?” Tanya pak syamsul, salah satu jamaah masjid Al-Muhajirin dengan logat makassarnya
“Di sana pak” Jawab sang anak dengan mata yang masih ngantuk sambil menunjuk ke arah barat
“Masih ada kah bapakmu?” Tanya yang lain
“Iye, Tinggal bapakku, mamaku sudah meninggal beberapa tahun yang lalu” cerita sang anak dengan kepala tertunduk diiringi air mata
“Na usirko bapakmu, kenapa tidur di teras masjid ini?”
Sang anak tidak menyahut lagi, kutatapi dalam-dalam tubuhnya, rasa iba mulai muncul dalam hatiku mendengar penuturannya tadi. Kasihan anak seumur dia harus terlantar hidupnya. Di mana perasaan sang bapak, tidak ada perhatian pada anaknya bahkan tega menelantarkannya.
“Usirmi saja, lihatmi itu pakaiannya yang kumal, rambut pirang, telinga beranting. Itu menandakan dia itu preman” Kata pak Arif lantang
Sang anak hanya mengedipkan mata kantuknya, sebenarnya aku merasa kasihan dengan keadaanya yang terlantar seperti itu, tapi penampilannya yang membuatku kehilangan belas kasih.
“Kenapa na begitu gayamu kah?” Tanya pak Tamrin logat ala Makassar
“Usirmi deh pak, anak nakal ini!” Sahut jamaah yang lain
“Iyo, pulangmako ku siramko air itu!” tegas pak Arif
“Eh, tunggu dulu, bapak ini tak punya hati. Seharusnya kita mengasihinya bukan memperlakukannya seperti itu” Suaraku lantang membela
“Abdi, untuk apa kamu bela-belain anak itu, tidakkah kamu lihat penampilan ala premannya itu?” Tegas pak Arif padaku
“Aku tahu itu pak, tapi apakah anda bisa mengukur hatinya, bisa saja penampilannya begitu, tapi hatinya baik” kataku polos
Walaupun aku membela sekuat tenaga, tapi anak itu diusir juga, tak satupun jamaah masjid yang memberikan kesempatan pada anak tersebut untuk tinggal di masjid itu. Mereka tidak punya rasa belas kasih pada anak itu.
“Coba bagusji penampilannya, kita baik ji juga sama dia, tapi gayanya kayak preman. Jangan sampai kurang ajar ji kalau dispanggil ke rumah” Kata pak Tamrin setelah anak itu berlalu pergi
****************************
Subuh di hari ke dua pengusiran anak itu, aku mencarinya ke arah yang ditunjuknya waktu ditanya. Informasi tempat tinggal dan identitasnya juga ku dapatkan dari teman-temannya. Aku sungguh iba padanya, pikiranku selalu tertuju pada dia.
Menurut temannya, Adi, anak itu sangat meprihatinkan hidupnya, berawal dari kematian sang karena siksaan dari ayahnya, ia tidak pernah lagi ,mersakan kasih sayang orang tua. Beberapa bulan setelah kematian ibunya, ayahnya menikah lagi dengan wanita cinta pertamanya, maka bertambahlah penderitaan Rafli, nama anak itu. Ia menafkahi hidupnya sendiri dengan mengais sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) Antang. Pendidikan hanya dirasakan pada kelas 2 SD, setelah itu putus total.
“ Allah, di mana hati ayahnya” Hatiku miris
Aku sangat bertekad menemukan anak itu setelah mendengar penjelasan Adi, mudah-mudahan aku bisa membantunya mengurangi penderitaannya.
Lorong-lorong sepi kompleks pemulung sampah itu terus ku telusuri, suara raungan anjing tak menyurutkan niatku mencari anak tersebut. Pagi memang masih gelap cuaca pagi itu masih segar belum terkontaminasi polusi kendaraan. Sebuah rumah yang terpisah dari rumah yang lain memaksaku berhenti. Ada suara aneh tiba-tiba saja muncul dari rumah itu.
“Hu……hu…..ha……hua………ha…’ Suara tangisan anak meraung
“Aku sudah bilang, jangan pernah menginjak rumah ini lagi” Seorang laki-laki setengah baya mengamuk
Aku terus perhatikan dari jauh kejadian itu.
****************************
“Ayah, ku mohon jangan usir aku”
Rifqi berteriak memohon pada sang bapak untuk tidak diusir dari rumahnya. Teriakan disertai tangis panjang itu membuatku gundah, rupanya masih ada orang tua yang tega mengusir anaknya di zaman ini. Ingin rasanya ku hajar laki-laki tak belas kasih itu. Darah daging sendiri sendiri diperlakukan seperti binatang, di mana hatinya tersimpan?.
“Hei...pergilah sebelum kami berubah pikiran!” Seorang perempuan menimpali
Perempuan separuh baya itu sepertinya ibu tiri Rifqi, sumber petaka rumah tangga orang lain. Menurut cerita teman-teman Rifqi, sebenarnya rumah tangga keluarga Rifqi sangat bahagia dan harmonis awalnya. Suatu hari, Ayah Rifqi Jatuh hati pada sinta, istri keduanya. Cinta terselubung akhirnya terbongkar dan berimbas pada kematian ibu kandung Rifqi setelah mendapati suaminya selingkuh. Nahas nasib Rifqi, ibu dibunuh sekarang anak diusir pula.
“Ayah, aku lagi sakit” Pelas Rifqi dengan suara lemas
“Ah... pergi sana, aku tak mau lihat mukamu lagi”
“Pak, usir dong!” Kata istrinya
Kesimpulanku benar, wanita itulah yang membuat hancur keluarga Rifqi. Membakar kemarahan suaminya untuk mengusir anak sendiri, kecintaan mendalam pada wanita bisa menjerumuskan seseorang ke jurang keserakahan. Rela berkorban demi memenuhi hasratnya.
“Ayo bcepat pergi”
Tanpa belas kasihan, sang ayah membanting anaknya ke tanah lalu menendanya, ku lihat Rifqi memeluk keras kaki sang ayah seakan memohon belas kasih, tapi harapan sang Rifqi hilang dengan perlakuan ayah yang tak berperikemanusiaan.
Aku terus memperhatikan kejadian pagi buta itu, tak ada lagi suara tangis dan pukulan mungkin Rifqi sudah lari pergi, hanya ayahnya yang sempat ku lihat menutup pintu rumahnya. Aku melangkah pulang dengan perasaan sedih bercampur jengkel.
“Setegah itukah seorang bapak?” Tanyaku dalam hati
Badanku menggigil, gigiku gemeretak, kakiku seakan tak mampu aku angkat dan hampir saja aku terjatuh.
“Tolong....tolong...”
Suara rintihan menghentikan langkahku, ku arahkan badanku ke sumber suara. Dengan mata penuh intai mencari sosok tubuh suara rintihan.
“Masya Allah!” Aku kaget setengah teriak
Ku hampiri Rifqi yang tergetak jauh dari tempat pemukulan ayahnya tadi, rupanya sang ayah melemparnya hinggah sampai sepuluh meter. Darah segar mengalir dari mulut dan hidungnya, lalu ku buka jaket dan membersihkan darah yang bercucuran itu. Tanpa terasa air mataku sudah mengalir deras membasahi badan Rifqi di pangkuanku.
“Rifqi, kamu baik-baik saja kan”
Senyum sepi mengumbar di bibir berdarahnya, seakan menandakan senyum terakhir yang ia berikan kepadaku. Hatiku miris melihat pemandangan itu, kata perpisahan dari Rifqi menambah keperihanku.
“Sampai jumpa di surga!”
Kumpulan Puisi
Kumpulan Puisi
Dunia yang HilangS
Oleh. Ruslan Pawallang
Hempasan angin puting
Menerbangkan tubuhku melayang
Ke negeri asing
Terhempas duri-duri tajam
Dunia asing……………………
Dihuni manusia asing
Tak pernah ku jamah dan ku khayal
Juga tak pernah ku mimpikan
Duniaku hilang…………….
Pergi meninggalkan jiwa gersang
Tanpa jejak ataupun kabar burung
Di negeri asing ……………..
Ku dapati manusia durja
Akhlak rusak perilaku jelek
Manusia asing……..
Kuhalang segala arus perilakunya
Tapi aku tak kuasa menahannya
Aku pun hanyut bersamanya
Duniaku yang hilang…….
Makassar, 12 mei 2010
Senyum Simetris
Oleh. Ruslan Pawallang
Selamat datang Wahai pagi…………………..
Kusambut kau dengan senyum berbinar
Mengembang di tepi bibir
Senyum simetris…………….
Menghiasi wajah putih bersinar
Menawan selalu bermekar
Senyum simetris……………...
Meredam amarah dan takabbur
Mengekang sombong dan kikir
Senyum simetris…………….
Menentrmkan jiwa pemarah
Menyatukan hati terpecah
Dalam bingkai mahabbah
Senyum simetris……………..
Ciri manusia pemurah
Hadir dari sikaps pamrih
Senyum simetris…………..
Milikilah, karena ia senyum
Rasulullah …………..
Tersenyumlah!……………
Anda awet muda
Makassar, mei 2010
Sahabat Hati
Oleh. Ruslan Pawallang
Sahabat sejati
Menyatu dalam hati
Hadir di setiap langkah kaki
Sahabat hati
Senantiasa dirindui
Dijaga dan disayangi
Agar tumbuh bersemi
Dalam jiwa sanubari
Sahabat sejati
Lahir dari keikhlasan hati
Bukan dari nafsu dan materi
Ataupun hasrat duniawi
Sahabat hati
Miliki, kenali dan cintai
Seperti sahabat Rasulullah saling mencintai
Katakan uhibbuka fillahi
Makassar, Mei 2010
Majlis-Majlis Syaithon
Oleh. Ruslan Pawallang
Ilegal selamanya terlarang………….
Tak akan pernah resmi
Hingga ia disahkan beraksi
Majlis-majlis illegal………………………..
Tumbuh di antara penggemar gosip heboh
Dihembuskan para penggiat gibah
Maljis illegal itu bernama ghibah…….
Timbul dari hati pendengki
Dan para pengiri hati
Maupun mereka yang sakit hati
Hindarilah majlis ini…………………………
Jauhi, karena tempat mereka neraka abadi
Yang tidak mereka sadari
karena hati tertutupi
kebenaran hakiki
pengghibah saudara syaithoni………………
datang di saat lalai
menghembus hasad dalam hati
Istaidz billahi…………………………………….
tatkala muncul dalam hati
Ataupun cenderung menggibah hati
Pelihara diri dan hati
Taubat, kembali ke jalan ilahi
Makassar, 15 Mei 2010
Kenali Cinta
Oleh. Ruslan Pawallang
Cerita tentang cinta
Sepasang manusia
Bersemi membara
Di atas ubun kepala
Kenalilah cinta
Agar selamat dari murka
Cintailah cinta
Agar menjadi bijaksana
Cinta dan nafsu beda
Cinta lahir dari jiwa ilahiyah
Sedang nafsu dari syaithoniyah
Siramilah cinta
Dengan air wudhu istikhirah
Bebas dari ikhtilaath
Dan nafsu bahamiyah
Maka akan tumbuh
Di atas rahmah Allah
Nafsu bertopeng cinta
Membutakan mata hati dan jiwa
Menyeret ke lembah hina
Lalu lupa pada ilahi sang pencipta
Makassar, 16 Mei 2010
Mati Rasa
Oleh. Ruslan Pawallang
Mati rasa, mati hati……………….
Tertutupi, kelabu nurani
Wajah pekat, pucat pasi
Terpancar dosa hati
Raut wajah terurai…………….
Kegelapan hati nurani
Hidup berlumur nista
Maksiat, durjana
Hidup pun merana
Jiwa-jiwa gersang…………..
Hati mengeras kering
Ditimpa kemarau panjang
Tandus tak berkembang
Jiwa kerdil……...................
Siramilah air mata sujud
Bersumber mata air tahajjud
Dan jejak orang zuhud
Tak pernah bosan menjadi a’bid
Mati rasa, hati………………
Obati dengan zikrullah,
Taqarrub ilallah,
Muhasabah,
Muraqobah,
Dan mahabbah
Makassar, 16 Mei 2010
Dunia yang HilangS
Oleh. Ruslan Pawallang
Hempasan angin puting
Menerbangkan tubuhku melayang
Ke negeri asing
Terhempas duri-duri tajam
Dunia asing……………………
Dihuni manusia asing
Tak pernah ku jamah dan ku khayal
Juga tak pernah ku mimpikan
Duniaku hilang…………….
Pergi meninggalkan jiwa gersang
Tanpa jejak ataupun kabar burung
Di negeri asing ……………..
Ku dapati manusia durja
Akhlak rusak perilaku jelek
Manusia asing……..
Kuhalang segala arus perilakunya
Tapi aku tak kuasa menahannya
Aku pun hanyut bersamanya
Duniaku yang hilang…….
Makassar, 12 mei 2010
Senyum Simetris
Oleh. Ruslan Pawallang
Selamat datang Wahai pagi…………………..
Kusambut kau dengan senyum berbinar
Mengembang di tepi bibir
Senyum simetris…………….
Menghiasi wajah putih bersinar
Menawan selalu bermekar
Senyum simetris……………...
Meredam amarah dan takabbur
Mengekang sombong dan kikir
Senyum simetris…………….
Menentrmkan jiwa pemarah
Menyatukan hati terpecah
Dalam bingkai mahabbah
Senyum simetris……………..
Ciri manusia pemurah
Hadir dari sikaps pamrih
Senyum simetris…………..
Milikilah, karena ia senyum
Rasulullah …………..
Tersenyumlah!……………
Anda awet muda
Makassar, mei 2010
Sahabat Hati
Oleh. Ruslan Pawallang
Sahabat sejati
Menyatu dalam hati
Hadir di setiap langkah kaki
Sahabat hati
Senantiasa dirindui
Dijaga dan disayangi
Agar tumbuh bersemi
Dalam jiwa sanubari
Sahabat sejati
Lahir dari keikhlasan hati
Bukan dari nafsu dan materi
Ataupun hasrat duniawi
Sahabat hati
Miliki, kenali dan cintai
Seperti sahabat Rasulullah saling mencintai
Katakan uhibbuka fillahi
Makassar, Mei 2010
Majlis-Majlis Syaithon
Oleh. Ruslan Pawallang
Ilegal selamanya terlarang………….
Tak akan pernah resmi
Hingga ia disahkan beraksi
Majlis-majlis illegal………………………..
Tumbuh di antara penggemar gosip heboh
Dihembuskan para penggiat gibah
Maljis illegal itu bernama ghibah…….
Timbul dari hati pendengki
Dan para pengiri hati
Maupun mereka yang sakit hati
Hindarilah majlis ini…………………………
Jauhi, karena tempat mereka neraka abadi
Yang tidak mereka sadari
karena hati tertutupi
kebenaran hakiki
pengghibah saudara syaithoni………………
datang di saat lalai
menghembus hasad dalam hati
Istaidz billahi…………………………………….
tatkala muncul dalam hati
Ataupun cenderung menggibah hati
Pelihara diri dan hati
Taubat, kembali ke jalan ilahi
Makassar, 15 Mei 2010
Kenali Cinta
Oleh. Ruslan Pawallang
Cerita tentang cinta
Sepasang manusia
Bersemi membara
Di atas ubun kepala
Kenalilah cinta
Agar selamat dari murka
Cintailah cinta
Agar menjadi bijaksana
Cinta dan nafsu beda
Cinta lahir dari jiwa ilahiyah
Sedang nafsu dari syaithoniyah
Siramilah cinta
Dengan air wudhu istikhirah
Bebas dari ikhtilaath
Dan nafsu bahamiyah
Maka akan tumbuh
Di atas rahmah Allah
Nafsu bertopeng cinta
Membutakan mata hati dan jiwa
Menyeret ke lembah hina
Lalu lupa pada ilahi sang pencipta
Makassar, 16 Mei 2010
Mati Rasa
Oleh. Ruslan Pawallang
Mati rasa, mati hati……………….
Tertutupi, kelabu nurani
Wajah pekat, pucat pasi
Terpancar dosa hati
Raut wajah terurai…………….
Kegelapan hati nurani
Hidup berlumur nista
Maksiat, durjana
Hidup pun merana
Jiwa-jiwa gersang…………..
Hati mengeras kering
Ditimpa kemarau panjang
Tandus tak berkembang
Jiwa kerdil……...................
Siramilah air mata sujud
Bersumber mata air tahajjud
Dan jejak orang zuhud
Tak pernah bosan menjadi a’bid
Mati rasa, hati………………
Obati dengan zikrullah,
Taqarrub ilallah,
Muhasabah,
Muraqobah,
Dan mahabbah
Makassar, 16 Mei 2010
Langganan:
Postingan (Atom)